Ai Nurhidayat Sang Penjaga Toleransi Multikultural dari Pangandaran

Ai Nurhidayat adalah pemuda asal Pangandaran, Jawa Barat. Ia sempat menempuh kuliah di Universitas Paramadina - Jakarta. Lulus dari Paramadina, Kang Ai, sapaan akrabnya, merencanakan untuk mendirikan sekolah dan pulang ke kampung halamannya. Awalnya ia mendirikan salah satu komunitas literasi yaitu Komunitas Belajar Sabalad.

Komunitas sabalad ini terdiri dari pemuda-pemuda di sekitar Pangandaran. Pada saat itu, tepatnya pada malam hari, di rumah beliau, mereka  berkumpul dan ngobrol santai. Mereka berdiskusi selepas salat Isya hingga jam 03.00 WIB dini hari.

Dari diskusi tersebut, terlahir sebuah komunitas yang bernama Komunitas Belajar Sabalad. Komunitas ini mempunyai motto yang unik yaitu “Mencari ilmu selama-lamanya. mencari kawan sebanyak-banyaknya.”

Ai Nurhidayat waktu itu mengadakan program literasi di komunitasnya. Namun tidak hanya itu, beliau juga mengadakan kegiatan produktif lainnya, seperti berkebun, berternak, hingga memproduksi pupuk kandang, pakanan domba, juga madu murni.

Kala itu, cukup banyak anggota komunitasnya dan kebanyakan dari anggota tersebut adalah pemuda setempat. Setiap hari Kang Ai juga mengelola komunitas itu dengan penuh semangat.

Pada 2012,  akhirnya berdirilah sebuah sekolah SMK Bakti Karya Parigi. Dulu sekolah ini belum ada bangunan, masih bertempat di sebuah gudang kelapa. Awalnya sekolah ini hanya sedikit muridnya, hingga sempat mau bangkrut dan akan ditutup.

Melihat hal itu, Kang Ai langsung berdiskusi dengan anggota komunitasnya supaya dapat ide bagaimana caranya untuk mendapatkan tambahan muridnya.

Akhirnya Kang Ai memutuskan untuk menjadikan Komunitas Sabalad menjadi bagian dari SMK Bakti Karya Parigi. Dengan begitu, siswa SMK Bakti Karya Parigi bertambah menjadi 15 orang.

Berkat gagasan Kang Ai, akhirnya sekolah SMK Bakti Karya Parigi kembali beroperasi pada tahun 2013. SMK Bakti Karya Parigi beroperasi di bawah naungan yayasan yang dipimpinnya.

Beliau tinggal di Pangandaran, tepatnya di Dusun Cikubang, Desa Cintakarya. Akan tetapi, beliau merasakan dan melihat langsung betapa etnosentrism. Ia melihat masyarakat di sekitarnya, mengenai fenomena toleransi. Masih banyak di sekitarnya yang sering mencaci maki karena adanya perbedaan.

Awal tahun 2013, Kang Ai sedang berdiskusi santai dengan beberapa anggota komunitasnya. Kemudian mereka bertukar gagasan soal masyarakat yang begitu etnosentrisme. Mereka juga memikirkan agar murid bisa bertambah.

Mereka secara tidak sengaja bergurau soal kopi. Kenapa kopi ini diproduksi dari luar tapi bisa dirasakan di sini? Kenapa manusianya tidak? Ide dan pikiran mulai muncul dari sini, agar muridnya bisa bertambah. Kang Ai berpikir apa salahnya kita mendatangkan murid dari luar.

Ide gila itu mulai dikembangkan dan dipikirkan. Hingga akhirnya beliau berhasil mendatangkan muridnya dari luar daerah. Kala itu, murid-muridnya telah sampai ke tengah-tengah masyarakatnya.

Begitu anehnya masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya murid-murid dari luar daerah. Apalagi dengan hadirnya murid yang berbeda agama. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan tentang multikultural dan toleransi. Inilah saatnya Kang Ai memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perbedaan.

Mulai dari sini, tantangan mulai muncul dengan adanya kasus tuduhan kepada Kang Ai di SMK Bakti Karya Parigi, soal adanya pembangunan gereja hingga perpindahan agama. Hal itu terjadi karena ada surat yang datang dari salah satu oknum yang kurang setuju dengan adanya kelas multikultural.

Waktu itu, tepatnya tahun 2014, Kang Ai sempat disidang di Kantor Bupati Pangandaran. Jajaran pemerintah, kementrian agama, MUI dan tokoh masyarakat ikut hadir dalam sidang tersebut.

Kang Ai, Irpan Ilmi sebagai kepala sekolah, serta jajaran dari Yayasan Darma Bakti Karya dan SMK Bakti Karya Parigi termasuk kepala desa setempat juga turut hadir.

Kang Ai disidang oleh pemerintah dalam keadaan panas dengan yang namanya intoleran. Kang Ai berusaha untuk menjelaskan hal yang terjadi sebenarnya. Namun, semua tidak tuntas pada waktu itu, hingga akhirnya Kang Ai diberi statement untuk tidak menambah siswa dari luar, apalagi yang non-muslim.

Di tengah sidang tersebut, seorang kepala desa setempat memaparkan bahwa hal yang diduga terjadi saat ini itu semuanya tidak benar.

“Entah saya buta, entah saya tuli, semua yang ada dalam pernyataan tersebut dan semua yang diduga terjadi saat ini, itu semuanya tidak benar. Dan yang saya rasakan di sekolah ini aman-aman saja!”

Namun, visi misi tidak putus begitu saja hanya karena masalah itu. Bahkan Kang Ai sempat bermimpi ada seseorang yang mendatanginya dan bertanya “Kamu tidak malu sama Nabi Ayub?”

Di situlah Kang Ai mendatangkan siswa baru dari luar daerah, sehingga kasus tersebut muncul kembali. Hal itu menyebabkan Kang Ai dipanggil kembali untuk memverifikasi kedatangan siswa baru tersebut. Kang Ai waktu itu tetap menjelaskan maksud dan visi misinya. Akhirnya pihak pemerintah memberikan dukungan dengan.

Kang Ai mempunyai statement bahwa “Dalam membangun pendidikan itu harus keras kepala, memiliki mental yang kuat.”

Inilah pahlawan terkini sosok pemuda yang membangun pendidikan berbasis multikultural. Atas perjuangannya, akhirnya SMK Bakti Karya bisa menjalankan program nya yaitu kelas multikultural.

Ai Nurhidayat sangat bangga bisa membawa murid-muridnya dari seluruh pelosok daerah. Sudah 6 tahun kelas multikultural ini berjalan, SMK Bakti Karya hingga menjadi sekolah yang full beasiswa dan kerap diapresiasi oleh publik.

Belum ada Komentar untuk "Ai Nurhidayat Sang Penjaga Toleransi Multikultural dari Pangandaran"

Posting Komentar